Angka-angka dari BPS Maret 2023 menjadi cermin yang tak bisa dihindari. Di desa, 5,11% penduduk belum pernah sekolah dan 12,39% terhenti sebelum lulus SD. Di kota, angka itu lebih kecil, 1,93% dan 6,62%. Sebelum kita bicara tentang kualitas pembelajaran, masih ada anak-anak yang belum pernah menginjakkan kaki di bangku sekolah. Apakah mereka bagian dari kemerdekaan yang kita rayakan?
Kemerdekaan sejati menuntut rumah belajar yang layak. Namun data Kemdikbud 2019 mengungkap hanya 37% sekolah yang memiliki fasilitas memadai, dan 28% bahkan tak memiliki guru penuh waktu. Di wilayah 3T, kemerdekaan belajar sering padam bersama listrik yang tak menyala. Ruang kelas berlubang, papan tulis memudar, dan semangat belajar harus melawan jarak dan hujan.
Kini kita bicara coding, bahasa masa depan. Tapi Data Dapodik 2024 berbisik lain, hanya 22% SD memiliki lebih dari 15 unit komputer. Di SMA dan SMK, angkanya 69% dan 60%. Di beberapa daerah pedalaman, komputer hanyalah cerita di televisi, dan internet adalah angan yang lambat sinyalnya.
Dan teknologi, betapapun canggihnya, tetap tunduk pada manusia di belakangnya. “Secanggih-canggihnya teknologi, core-nya tetap the man behind the machine,” kata seorang peneliti. Guru yang memahami teknologi adalah nyawa dari inovasi digital, namun pelatihan, materi pendukung, dan insentif seringkali lebih langka daripada perangkat itu sendiri.
Ada pula biaya-biaya yang tak tercatat di naskah pidato kenegaraan. Riset Universitas Negeri Jakarta menunjukkan bahwadi wilayah 3T, 68% keluarga berpenghasilan rendah menghabiskan hingga 40% pendapatan bulanan untuk biaya tidak langsung, seragam, transportasi, buku. Bagi mereka, kemerdekaan belajar bisa tergadai hanya karena ongkos kapal atau harga bensin.
Kesenjangan ini bukan hanya hari ini, tapi juga esok. BPS 2023 mencatat bahwa di kota, 49,16% penduduk menamatkan pendidikan menengah atas, sedangkan di desa hanya 27,98%. Jurang ini melahirkan siklus yang berulang, yaitu akses terbatas → pendidikan rendah → peluang hidup yang sempit.
Pemerintah berencana memasukkan coding dan AI ke kurikulum mulai 2025/2026. Sebuah visi yang berani. Namun tanpa listrik yang merata, guru yang terlatih, dan kebijakan yang berpihak pada yang tertinggal, visi ini bisa menjadi tembok pemisah, bukan jembatan penghubung.
Maka, sekali lagi kita bertanya merdeka untuk siapa? Jika kemerdekaan belajar hanya dimiliki anak-anak di kota besar yang terhubung ke internet cepat, apa arti kemerdekaan itu bagi mereka yang belajar di bangku kayu dengan papan tulis kapur?
Kemerdekaan pendidikan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari keberpihakan. Kita butuh kebijakan asimetris, yang memberi lebih bagi yang kurang, yang menyalakan listrik di ujung negeri, yang melatih guru di pelosok, yang menyediakan materi offline di pulau terpencil. Tanpa itu, kemerdekaan hanyalah kata dalam upacara. Dengan itu, barulah merah putih berkibar di hati setiap anak bangsa.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.