Perkembangan asesmen berbasis digital semakin sering direpresentasikan melalui penggunaan formulir daring, terutama di sekolah-sekolah yang mulai mengadopsi perangkat Android dan komputer sebagai media ujian. Dalam konteks Kerinci dan Sungai Penuh, banyak sekolah menyatakan diri telah menjalankan asesmen sumatif berbasis online, namun praktiknya masih bertumpu pada Google Form. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana proses digitalisasi asesmen benar-benar dipahami sebagai transformasi sistem evaluasi. Perubahan media tidak otomatis menunjukkan peningkatan kualitas evaluasi. Dalam perspektif evaluasi pendidikan, digitalisasi semestinya menyentuh aspek integritas, validitas, dan reliabilitas, bukan sekadar memindahkan soal ke ranah daring. Ketika proses tidak bergerak melampaui tahap ini, digitalisasi berhenti pada level administratif.
Google Form berfungsi baik sebagai alat survei dan pengumpulan data, tetapi tidak dirancang untuk kebutuhan evaluasi pendidikan berisiko tinggi. Pada asesmen semester atau penilaian sumatif, keamanan, struktur soal, dan pemantauan aktivitas peserta didik adalah komponen inti. Tanpa fitur pengawasan digital, siswa berpotensi berpindah tab atau membuka laman lain tanpa hambatan. Situasi ini berpengaruh pada validitas skor yang dihasilkan, karena jawaban dapat berasal dari sumber di luar kemampuan siswa. Oleh sebab itu, penggunaan Google Form untuk asesmen sumatif perlu dipahami sebagai pilihan yang memiliki keterbatasan struktural. Evaluasi yang baik membutuhkan media yang mampu menjaga integritas proses, bukan hanya memudahkan distribusi soal.
Transformasi digital dalam asesmen seharusnya bergerak pada tataran perubahan sistem, bukan hanya tampilan. Digitalisasi yang substantif mencakup penjaminan mutu, pengamanan proses, analisis data, serta mekanisme yang konsisten dengan prinsip evaluasi pendidikan. Jika digitalisasi hanya dimaknai sebagai pergantian dari kertas ke layar, sekolah belum memasuki tahap adaptasi teknologi secara utuh. Inilah yang sering terjadi ketika lembaga pendidikan terburu-buru menyesuaikan diri dengan wacana “era digital” tanpa meninjau kesiapan instruksional dan teknis. Adaptasi semestinya menempatkan tujuan pedagogik sebagai titik awal, bukan efek samping dari euforia teknologi. Hal ini selaras dengan gagasan bahwa evaluasi digital memerlukan standar teknis untuk menjaga kualitas pengukuran.
Reliabilitas dan validitas merupakan dua prinsip dasar evaluasi yang potensinya melemah ketika media yang digunakan tidak mampu mengendalikan variabel proses. Dalam asesmen berbasis Google Form, reliabilitas dapat terganggu karena peluang ketidakkonsistenan perilaku peserta didik selama ujian. Validitas isi juga terancam ketika jawaban dapat ditopang sumber eksternal. Kondisi semacam ini membuat skor tidak sepenuhnya merepresentasikan kompetensi. Jika hasil asesmen tidak dapat diandalkan, keputusan akademik yang bersandar pada data tersebut ikut terdampak, termasuk penentuan remedial dan pelaporan capaian pembelajaran. Kubiszyn dan Borich (2016) menegaskan bahwa kualitas instrumen sangat bergantung pada mekanisme administrasi yang konsisten dan aman.
Salah satu risiko yang sering muncul dalam praktik asesmen daring tingkat dasar adalah ketidakseimbangan antara perkembangan alat digital dan kesiapan pedagogik pendidik. Banyak guru yang mahir membuat soal, tetapi belum familiar dengan standar keamanan ujian berbasis komputer. Dalam situasi seperti ini, Google Form menjadi pilihan karena mudah digunakan, tetapi kemudahan tersebut tidak selalu sejalan dengan kebutuhan evaluasi formal. Proses pengawasan digital, pemantauan aktivitas peserta, dan integrasi bank soal sering kali belum tereksplorasi. Padahal, aspek-aspek tersebut menentukan kualitas asesmen jangka panjang. Pemahaman yang utuh mengenai kebutuhan evaluasi digital perlu ditanamkan melalui pelatihan terstruktur.
Model Computer-Based Test (CBT) menawarkan sejumlah fitur yang mendukung integritas asesmen, seperti penguncian browser, randomisasi soal, pelacakan aktivitas, serta analisis butir otomatis. Sistem semacam ini memberi peluang kepada sekolah untuk meningkatkan mutu evaluasi secara signifikan. Ketika siswa tidak dapat beralih ke aplikasi lain selama ujian, perilaku akademik yang muncul lebih mendekati kondisi evaluatif ideal. Selain itu, CBT memungkinkan penyusunan bank soal yang dapat digunakan kembali dengan variasi yang konsisten. Sistem seperti Moodle Quiz, TExam, ataupun platform berbasis Safe Exam Browser telah dipakai luas di berbagai daerah sebagai standar minimal evaluasi digital. Ini menunjukkan bahwa opsi peningkatan kualitas tersedia dan dapat diadopsi secara bertahap.
Keterbatasan infrastruktur sering dijadikan alasan mengapa sekolah tetap menggunakan media sederhana seperti Google Form. Namun, beberapa platform CBT bersifat open-source dan dapat dijalankan pada server lokal atau shared hosting dengan biaya relatif terjangkau. Tantangan utamanya bukan semata ketersediaan perangkat, melainkan kesenjangan literasi teknologi pendidikan. Ketika pendidik mendapat dukungan pelatihan dan pendampingan teknis, implementasi CBT jauh lebih mudah dilakukan. Oleh karena itu, strategi peningkatan kualitas asesmen digital harus mempertimbangkan pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Tanpa peningkatan pemahaman, teknologi hanya menjadi alat yang dipakai seadanya dan tidak berdampak pada kualitas pembelajaran.
Asesmen digital yang tidak dilengkapi mekanisme kontrol dapat menimbulkan bias akademik. Beberapa peserta didik mungkin lebih disiplin dan mengikuti aturan secara mandiri, sementara lainnya memanfaatkan kelonggaran sistem. Ketimpangan perilaku ini menghasilkan skor yang tidak seragam dari segi integritas. Dampaknya adalah ketidakadilan evaluatif, di mana siswa yang menjaga kejujuran akademik berada pada posisi kurang menguntungkan dibanding siswa yang memanfaatkan celah teknis. Ketika ketidakadilan ini berulang, budaya asesmen kehilangan makna sebagai alat ukur kompetensi dan berubah menjadi sekadar syarat administratif. Situasi inilah yang perlu diantisipasi sejak dini melalui penguatan sistem evaluasi digital.
Sekolah juga perlu mempertimbangkan bagaimana data asesmen disimpan dan dianalisis. Google Form memang menyediakan grafik sederhana, tetapi tidak menyediakan analisis butir soal yang memadai. Tanpa informasi tentang tingkat kesulitan, daya pembeda, dan pola respons, pendidik kesulitan menilai kualitas instrumen. Platform CBT umumnya menyediakan laporan terstruktur yang memungkinkan guru melakukan refleksi instrumen secara lebih akurat. Analisis semacam ini penting untuk memastikan asesmen tidak hanya berdampak pada penilaian, tetapi juga memperkuat proses pembelajaran. Pengambilan keputusan berbasis data membutuhkan sistem yang mampu menghasilkan informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Perubahan paradigma asesmen digital semestinya ditempatkan sebagai bagian dari upaya meningkatkan mutu pendidikan, bukan sekadar menyesuaikan diri dengan tren teknologi. Kualitas evaluasi harus tetap menjadi fokus utama. Sekolah yang mengadopsi CBT atau sistem sejenis perlu memahami bahwa tujuan akhirnya adalah menghasilkan gambaran kompetensi yang otentik. Ketika teknologi digunakan dengan landasan pedagogik yang kuat, asesmen digital dapat memperkaya proses evaluasi, menghadirkan efisiensi, serta memperkuat budaya akademik yang berintegritas. Transformasi ini membutuhkan strategi yang berkelanjutan, termasuk evaluasi internal secara berkala.
Implementasi teknologi evaluasi yang lebih baik memerlukan kolaborasi antara kepala sekolah, guru, operator, dan pihak eksternal. Sekolah dapat memulai dengan audit kebutuhan untuk mengetahui kesiapan perangkat, akses internet, serta tingkat literasi digital pendidik. Setelah itu, rencana peningkatan bertahap dapat disusun, mulai dari uji coba skala kecil hingga penerapan penuh. Proses ini memungkinkan sekolah melakukan adaptasi tanpa tekanan besar, sambil tetap menjaga kualitas evaluasi. Dukungan kebijakan daerah juga menjadi faktor penting agar sekolah memiliki landasan regulasi yang kuat dalam mengembangkan asesmen digital berbasis CBT.
Wacana penguatan asesmen digital tidak dapat dipisahkan dari aspek etika akademik. Peserta didik perlu memahami bahwa evaluasi adalah proses pembelajaran, bukan sekadar proses mengumpulkan nilai. Sekolah dapat mengintegrasikan sosialisasi tentang integritas akademik sebagai bagian dari kegiatan pembiasaan. Dengan demikian, teknologi tidak berdiri sendiri, tetapi ditempatkan dalam ekosistem nilai yang utuh. Pendidikan tentang etika akademik membantu mencegah ketergantungan pada pengamanan teknis semata. Integritas yang dibangun secara konsisten akan memperkuat kualitas asesmen, baik menggunakan sistem sederhana maupun sistem tingkat lanjut.
Dalam konteks Kerinci dan Sungai Penuh, kondisi geografis dan variasi infrastruktur perlu dipertimbangkan. Akses teknologi yang belum merata dapat menjadi hambatan dalam penerapan CBT secara menyeluruh. Namun, hambatan ini bukan alasan untuk berhenti berupaya meningkatkan kualitas asesmen digital. Banyak sekolah di daerah lain yang memulai transformasi digital dari kondisi terbatas. Pendekatan bertahap yang realistis, misalnya memulai dari kelas tertentu atau mata pelajaran tertentu dapat menjadi strategi efektif. Upaya perbaikan yang dilakukan secara bertahap menciptakan fondasi yang kuat bagi masa depan asesmen digital.
Solusi jangka menengah yang dapat diterapkan adalah penggunaan platform CBT ringan yang kompatibel dengan perangkat sederhana. Beberapa sistem berbasis web dapat dioperasikan dengan bandwidth rendah dan tetap menyediakan fitur penguncian dasar. Sekolah juga dapat bekerja sama dengan penyedia layanan lokal untuk mengembangkan sistem yang sesuai kebutuhan. Pelatihan bagi pendidik harus menjadi prioritas, mengingat efektivitas teknologi sangat bergantung pada kemampuan guru dalam mengoperasikan dan memanfaatkan fitur yang tersedia. Dengan dukungan kebijakan yang jelas, proses ini dapat berjalan lebih terarah dan terukur.
Ke depan, penguatan asesmen digital harus dipahami sebagai investasi kualitas pendidikan. Transformasi ini bukan sekadar mengganti metode, tetapi membangun sistem evaluasi yang adil, akurat, dan selaras dengan perkembangan pembelajaran abad ke-21. Sekolah yang berkomitmen meningkatkan kualitas asesmen digital akan memperoleh banyak manfaat, mulai dari transparansi proses hingga kemudahan pengelolaan data pembelajaran. Dengan pendekatan reflektif dan berbasis fakta, peningkatan kualitas asesmen bukan hanya memungkinkan, tetapi juga diperlukan untuk memastikan bahwa proses pendidikan berjalan secara bermakna dan akuntabel.












