Memasuki abad ke-21, digitalisasi telah menjadi katalis utama perubahan dalam hampir semua aspek kehidupan. Mahasiswa, sebagai bagian dari generasi digital native, menghadapi realitas baru di mana teknologi bukan sekadar alat bantu, tetapi ekosistem yang menentukan arah masa depan.
UNESCO (2019) menekankan bahwa literasi digital kini menjadi kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap individu, sejajar dengan membaca, menulis, dan berhitung. Digitalisasi membawa peluang besar dalam pendidikan. Melalui platform pembelajaran daring, mahasiswa memiliki akses ke ribuan sumber pengetahuan global yang sebelumnya sulit dijangkau. Laporan Future of Education (UNESCO, 2015) menunjukkan bahwa teknologi dapat memperluas cakrawala intelektual mahasiswa, membuka ruang kolaborasi lintas negara, serta mempercepat inovasi. Namun, akses luas ini juga menuntut kemampuan kritis dalam memilah informasi yang valid.
Tantangan utama mahasiswa di era digital adalah mengelola banjir informasi. World Economic Forum (2020) menggarisbawahi bahwa keterampilan abad 21 menuntut tidak hanya critical thinking tetapi juga literasi informasi agar mahasiswa tidak terjebak dalam misinformasi. Dengan kata lain, keberlimpahan data harus diimbangi dengan kemampuan menilai kredibilitas sumber.
Selain literasi digital, mahasiswa juga dituntut adaptif terhadap perubahan dunia kerja. Laporan Future of Jobs (World Economic Forum, 2022) menunjukkan bahwa 50% pekerjaan akan mengalami pergeseran signifikan akibat otomatisasi dan kecerdasan buatan. Hal ini berarti mahasiswa tidak cukup hanya menguasai teori, tetapi juga harus menyiapkan diri dengan keterampilan problem solving, kreativitas, dan kolaborasi lintas disiplin.
Di tengah derasnya arus digitalisasi, refleksi etis menjadi hal yang tak kalah penting. Tapscott (2009) dalam Grown Up Digital mengingatkan bahwa generasi digital rentan kehilangan makna mendalam dalam interaksi sosial jika tidak diimbangi dengan kesadaran nilai. Bagi mahasiswa, ini berarti menggunakan teknologi bukan hanya untuk konsumsi hiburan, tetapi juga sebagai sarana pengembangan diri, kontribusi sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
Mahasiswa sebagai agen perubahan harus menyadari bahwa mereka bukan sekadar konsumen teknologi, melainkan calon produsen pengetahuan. Trilling & Fadel (2009) menyatakan bahwa abad 21 menuntut mahasiswa untuk mengintegrasikan critical thinking, creativity, communication, dan collaboration (4C) dalam setiap proses belajar. Dengan demikian, digitalisasi seharusnya menjadi medium untuk memperkuat kapasitas diri, bukan melemahkannya.
Dari sisi reflektif, mahasiswa perlu menanyakan apakah saya sedang dikuasai teknologi, ataukah saya yang menguasainya? Pertanyaan ini penting karena keseimbangan antara digital well-being dan produktivitas akademik akan menentukan kualitas generasi muda. Tanpa kesadaran diri, digitalisasi justru bisa melahirkan alienasi, kecanduan, dan krisis identitas.
Sebagai langkah praktis, mahasiswa perlu membangun etika bermedia yang sehat, mengelola waktu penggunaan teknologi, serta memanfaatkan media digital untuk membangun jejaring akademik. Bloomberg (2021) menekankan pentingnya lifelong learning yang diperkuat dengan keterampilan digital. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya siap menghadapi dunia kerja, tetapi juga mampu memberi solusi pada persoalan masyarakat.
Dalam konteks inilah, FMR-I (Forum Mahasiswa Rawang IAIN Kerinci) patut diapresiasi karena melaksanakan Seminar dengan tema “Digitalisasi dan Tantangan Abad 21 bagi Mahasiswa” pada hari Sabtu, 13 September 2025, bertempat di Aula Kantor Camat Kecamatan Hamparan Rawang. Kegiatan ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa tidak hanya menyadari tantangan zaman, tetapi juga berinisiatif menjawabnya melalui ruang diskusi akademis. Langkah tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Mahasiswa Rawang IAIN Kerinci sedang mempersiapkan diri untuk menjadi generasi yang adaptif, kritis, dan solutif dalam menghadapi era digital.
Pendidikan tinggi juga harus bertransformasi agar mahasiswa tidak berjalan sendiri. Kurikulum yang adaptif terhadap teknologi, riset berbasis data, serta kolaborasi dengan industri merupakan strategi untuk memastikan mahasiswa tetap relevan. OECD (2020) menekankan bahwa perguruan tinggi harus menjadi pusat pengembangan kompetensi abad 21, bukan hanya penyampai teori.
Digitalisasi memang menghadirkan tantangan besar bagi mahasiswa, tetapi di baliknya tersimpan peluang emas. Dengan literasi digital, refleksi etis, dan penguatan 4C, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang tangguh di tengah dunia yang terus berubah. Seperti ditegaskan oleh UNESCO (2019), “Pendidikan masa depan harus membekali generasi muda dengan keterampilan untuk belajar, beradaptasi, dan berkontribusi dalam dunia yang kompleks.”










