Pendidikan Indonesia sejak lama menjadi sorotan, bukan hanya karena capaian akademisnya, melainkan karena problem mendasar yang melekat dalam sistemnya. Selama ini, pembaruan pendidikan kerap dititikberatkan pada kurikulum, teknologi, dan infrastruktur.
Padahal, persoalan yang sesungguhnya lebih dalam, yaitu menyangkut paradigma, pondasi, dan orientasi dasar pendidikan itu sendiri. Tanpa pergeseran paradigma, segala inovasi teknis hanya akan menjadi tambal sulam.
Pertama, persoalan paradigma pendidikan yang masih salah arah. Pendidikan masih cenderung dipahami sebagai proses mengajar atau transfer of knowledge ketimbang proses mendidik yang sejati, yakni membentuk manusia. Konsekuensinya, siswa lebih sibuk mengejar nilai ujian, ranking, indeks prestasi, atau kelulusan, daripada tumbuh menjadi pribadi kritis, berkarakter, dan mampu hidup bermasyarakat. Orientasi ini perlu dibenahi dengan mengembalikan tujuan pendidikan pada hakikatnya, yaitu membentuk manusia merdeka, bernalar, berkarakter, dan memberi makna dalam hidupnya.
Kedua, guru belum ditempatkan sebagai subjek utama. Selama ini, guru lebih sering diposisikan sebagai pelaksana kebijakan semata. Padahal, guru adalah ujung tombak kualitas pendidikan. Realitas menunjukkan banyak guru terbebani administrasi, kurang sejahtera, dan minim ruang berkreasi. Hal ini melemahkan profesionalisme dan dedikasi mereka. Yang perlu dibenahi adalah menempatkan guru sebagai aktor utama, dengan menyediakan ekosistem yang mendukung kebebasan pedagogis, meningkatkan kesejahteraan, dan memberi ruang untuk inovasi.
Ketiga, kesenjangan sosial dalam akses pendidikan masih begitu nyata. Di perkotaan, siswa belajar dengan laptop, internet, dan fasilitas modern. Sementara di pelosok, ada anak yang berjalan jauh menuju sekolah dengan sarana terbatas. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi jalan pemerataan justru memperlebar jurang sosial. Yang kaya semakin pintar, yang miskin kian tertinggal. Pembenahan mendesak adalah pemerataan kualitas, bukan sekadar kuantitas sekolah. Negara harus hadir agar setiap anak, di manapun berada, mendapat hak belajar yang sama.
Keempat, birokratisasi pendidikan yang berlebihan membuat kebijakan sering tidak kontekstual. Banyak aturan disusun dari meja birokrat pusat, tanpa menyerap realitas sekolah dan kebutuhan masyarakat lokal. Padahal, setiap daerah memiliki kearifan, potensi, dan tantangan berbeda. Akibatnya, pendidikan terkesan seragam, kaku, dan kurang relevan. Perlu pergeseran menuju model pendidikan yang kontekstual, berbasis budaya, potensi lokal, dan kebutuhan nyata masyarakat.
Kelima, minimnya integrasi dengan kehidupan nyata. Sekolah masih terjebak pada teori dan hafalan, sementara anak-anak membutuhkan bekal keterampilan praktis. Tidak heran banyak lulusan berijazah tinggi justru bingung menentukan arah hidup. Pendidikan harus memberi porsi besar pada pengembangan life skills, critical thinking, dan kemampuan problem-solving. Dengan itu, lulusan tidak hanya pintar secara kognitif, tetapi juga tangguh menghadapi realitas hidup yang kompleks.
Kelima masalah ini menunjukkan bahwa krisis pendidikan di Indonesia bersifat sistemik. Ia tidak cukup diatasi dengan revisi kurikulum atau distribusi gadget. Yang dibutuhkan adalah pergeseran paradigma, di mana pendidikan dipandang sebagai proses memanusiakan manusia, bukan sekadar meluluskan pekerja atau menghasilkan angka statistik.
Dalam konteks ini, pembaruan pendidikan harus berangkat dari keberanian meninjau ulang pondasi. Bagaimana kita memandang guru, murid, masyarakat, dan tujuan belajar? Apakah pendidikan hanya soal melahirkan generasi kompetitif di pasar kerja, ataukah menumbuhkan manusia merdeka yang bermoral, bernalar, dan peduli pada sesama?
Negara, guru, dan masyarakat perlu berjalan seiring. Negara harus menghadirkan kebijakan yang mendukung dan merata. Guru diberi ruang menjadi subjek utama, kreatif, dan sejahtera. Masyarakat dilibatkan dalam menjadikan sekolah bagian dari ekosistem sosial yang hidup dan membumi. Pendidikan yang kontekstual, adil, dan berorientasi pada kehidupan nyata hanya mungkin lahir dari kolaborasi tiga unsur ini.
Dengan demikian, pembenahan pendidikan Indonesia bukan lagi sekadar proyek administratif, melainkan proyek peradaban. Pendidikan harus menjadi jalan melahirkan manusia merdeka, bernalar, berkarakter, dan mampu memberi makna dalam hidupnya. Inilah arah baru yang harus diambil bila bangsa ini ingin melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga matang secara spiritual, sosial, dan moral.












