Mindful Learning Innovatiobn

Teknologi Digital dan AI – Karunia yang Menuntut Kebijaksanaan

Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI) merupakan fenomena yang tidak bisa dielakkan dalam peradaban manusia modern. Kehadirannya menghadirkan disrupsi di berbagai lini kehidupan, dari pendidikan, kesehatan, hingga sektor ekonomi. Namun, yang kerap terlewat adalah kesadaran bahwa teknologi sesungguhnya hanyalah instrumen.

Nilai moral dari pemanfaatannya tidak terletak pada teknologinya, melainkan pada manusia yang menggunakannya.

Dalam perspektif filsafat ilmu, teknologi bersifat netral. Ia bukan entitas bermoral yang mampu menentukan arah peradaban secara otonom. Teori social constructivism menekankan bahwa manusialah yang memberi makna, arah, dan fungsi pada teknologi. Dengan demikian, pertanyaan mendasar bukanlah “apakah teknologi baik atau buruk?”, melainkan “untuk tujuan apa dan oleh siapa teknologi digunakan?”.

Analogi pisau menjadi relevan di sini. Pisau di dapur, seorang ibu dapat menghadirkan hidangan sehat bagi keluarga, sementara di tangan seorang kriminal bisa menjadi alat pengancam nyawa. Hal serupa dan berlaku pada teknologi digital dan AI. Di tangan manusia berintegritas, ia dapat mempermudah pekerjaan, meningkatkan produktivitas, dan memperluas akses pendidikan. Namun di tangan yang salah, teknologi dapat menjadi sarana penyalahgunaan, kriminalisasi, hingga eksploitasi.

Berbagai contoh positif dapat kita temukan. AI dalam bidang kesehatan mampu membantu dokter mendiagnosis penyakit lebih cepat, bahkan mendeteksi kanker sejak dini. Di sektor pertanian, Internet of Things (IoT) dan sensor digital mendukung praktik smart farming, meningkatkan hasil panen dengan efisiensi tinggi. Di dunia pendidikan, platform pembelajaran digital memudahkan guru dan siswa berinteraksi lintas jarak dan waktu. Semua ini menunjukkan potensi karunia yang besar jika dikelola secara bijak.

Namun, di sisi lain, data juga memperlihatkan sisi gelap penyalahgunaan. Kasus deepfake yang merugikan sektor keuangan miliaran rupiah, eksploitasi seksual berbasis teknologi, hingga chatbot AI yang justru mendorong bunuh diri adalah potret nyata bahwa teknologi bisa berubah menjadi bumerang. Ketika teknologi tidak diimbangi regulasi, literasi, dan etika, ia berpotensi menimbulkan kerusakan yang melampaui batas imajinasi.

Dalam konteks ini, Islam menawarkan kerangka etis yang sangat relevan. Setiap karunia Allah adalah amanah yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Teknologi bukan pengecualian. Penggunaannya harus berpijak pada prinsip maqashid syariah, menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika pemanfaatan teknologi justru merusak pilar-pilar ini, maka jelas telah terjadi penyalahgunaan yang bertentangan dengan amanah ilahi.

Fenomena penyalahgunaan teknologi juga membuka ruang refleksi akademis tentang pentingnya literasi digital. Literasi bukan hanya sekadar kemampuan menggunakan perangkat, melainkan kesadaran kritis akan dampak sosial, etika, dan hukum dari pemanfaatannya. Tanpa literasi yang memadai, masyarakat akan mudah terjebak dalam manipulasi algoritma, penipuan digital, maupun polarisasi yang diciptakan oleh media sosial.

Pemerintah dan lembaga global pun telah menyadari urgensi ini. UNESCO mengeluarkan panduan etika AI, Uni Eropa menyusun AI Act, dan berbagai negara menyiapkan regulasi perlindungan data. Namun, regulasi formal saja tidak cukup. Harus ada sinergi antara regulasi, edukasi, dan internalisasi nilai moral agar teknologi benar-benar menjadi sarana keberkahan, bukan sumber petaka.

Dalam praktiknya, sinergi ini menuntut keterlibatan multi-pihak, akademisi untuk menghadirkan kajian kritis, pemerintah untuk menetapkan regulasi, pelaku industri untuk membangun sistem yang etis, dan masyarakat sipil untuk mengawasi jalannya pemanfaatan teknologi. Dengan keterlibatan kolektif ini, kita dapat mengarahkan teknologi digital dan AI menuju pemanfaatan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Akhirnya, refleksi ini menegaskan bahwa teknologi digital dan AI adalah karunia, bukan musuh. Namun, ia adalah karunia yang menuntut kebijaksanaan. Sebagaimana pisau, teknologi dapat menjadi berkah atau bencana, tergantung pada siapa yang menggenggamnya. Tantangan akademis sekaligus moral bagi kita adalah memastikan bahwa teknologi tetap berada di tangan yang benar, digunakan untuk kemaslahatan umat manusia, serta dijalankan dengan amanah dan tanggung jawab.

error: Maaf, konten ini dilindungi. Tidak bisa dicopy.!