Era Society 5.0 menandai sebuah transformasi besar dalam peradaban manusia, di mana teknologi canggih seperti kecerdasan buatan, big data, dan internet of things tidak lagi sekadar mendorong efisiensi industri, melainkan berfungsi untuk menyelesaikan persoalan sosial dan meningkatkan kualitas hidup manusia. Dalam konteks pendidikan tinggi, hal ini menuntut perubahan paradigma pembelajaran, dari yang berpusat pada dosen dan teori, menuju model yang memberdayakan mahasiswa sebagai inovator, problem solver, dan kontributor bagi masyarakat.
Salah satu pendekatan yang semakin relevan di era ini adalah Project-Based Learning (PjBL). PjBL memberikan ruang bagi mahasiswa untuk belajar melalui pengalaman langsung dengan mengerjakan proyek nyata yang berhubungan dengan persoalan kompleks. Model ini bukan hanya meningkatkan pemahaman kognitif, tetapi juga menumbuhkan kompetensi abad ke-21 seperti kolaborasi, kreativitas, komunikasi, dan literasi teknologi, kompetensi yang sangat dibutuhkan dalam ekosistem Society 5.0.
Sejumlah negara maju telah membuktikan keberhasilan implementasi PjBL dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Finlandia, misalnya, yang terkenal dengan sistem pendidikan progresifnya, berhasil mengintegrasikan proyek lintas disiplin dalam kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi. Hal ini berkontribusi pada peningkatan performa pelajar mereka dalam penilaian global seperti PISA, sekaligus menumbuhkan keterampilan hidup yang relevan dengan tantangan abad ini.
Di Amerika Serikat, berbagai universitas ternama seperti Stanford dan MIT telah lama menjadikan PjBL sebagai tulang punggung proses pembelajaran. Mahasiswa didorong untuk menghasilkan prototipe, aplikasi, maupun solusi berbasis riset yang dapat diimplementasikan dalam dunia nyata. Riset-riset yang lahir dari proyek semacam ini bahkan banyak yang berujung pada startup inovatif atau program sosial yang berkontribusi langsung pada masyarakat.
Data internasional menunjukkan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam PjBL memiliki tingkat retensi pengetahuan lebih tinggi, sekaligus mengalami peningkatan soft skills dibandingkan dengan mahasiswa yang hanya mengikuti metode konvensional. Sebuah studi di Journal of Engineering Education (2019) menunjukkan bahwa PjBL meningkatkan kemampuan problem solving mahasiswa teknik hingga 35% lebih efektif dibanding model pembelajaran tradisional.
Di Indonesia sendiri, pendekatan PjBL sudah mulai diperkenalkan melalui Kurikulum Merdeka di tingkat sekolah, khususnya lewat Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Namun, penerapannya di perguruan tinggi masih memerlukan akselerasi. Mahasiswa perlu dibekali dengan pengalaman belajar yang tidak hanya menekankan teori, tetapi juga menghasilkan karya nyata yang berdampak pada masyarakat dan dunia industri.
PjBL di perguruan tinggi dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk, mulai dari proyek penelitian berbasis kebutuhan lokal, pengembangan teknologi tepat guna untuk UMKM, hingga aksi sosial berbasis data yang membantu pemerintah daerah. Dengan cara ini, kampus benar-benar berfungsi sebagai pusat inovasi sekaligus agen perubahan sosial sesuai dengan visi Society 5.0.
Sebagai contoh, penerapan Project-Based Learning (PjBL) pada mata kuliah Media Pembelajaran dapat menjadi strategi transformasional dalam menyiapkan calon pendidik yang kreatif dan adaptif terhadap tuntutan abad ke-21. Alih-alih hanya memahami teori, mahasiswa diarahkan untuk menghasilkan karya nyata berupa media ajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik di era digital. Misalnya, dosen memberikan proyek semester berupa pengembangan media pembelajaran interaktif berbasis aplikasi mobile atau gamification, yang diujicobakan langsung pada siswa sekolah mitra. Proses ini mendorong mahasiswa untuk tidak hanya menguasai aspek teknis, tetapi juga menanamkan keterampilan kolaborasi, komunikasi, dan pemecahan masalah.
Lebih jauh, proyek ini mengajarkan mahasiswa bahwa media ajar bukan sekadar pelengkap pembelajaran, melainkan sarana strategis untuk meningkatkan motivasi dan capaian belajar siswa. Dengan merancang aplikasi sederhana berbasis Android, video animasi interaktif, atau konten augmented reality, mahasiswa belajar berpikir kritis tentang bagaimana teknologi dapat disesuaikan dengan konteks lokal Indonesia. Hal ini sejalan dengan semangat Society 5.0, di mana teknologi bukan hanya alat, melainkan mitra untuk memecahkan masalah sosial, termasuk tantangan pendidikan.
Keberhasilan proyek ini tidak hanya diukur dari aspek estetika produk, tetapi juga dari dampaknya terhadap pengalaman belajar siswa. Ketika media yang dirancang mahasiswa mampu membuat pelajaran Matematika lebih menyenangkan melalui gamification, atau materi Biologi lebih mudah dipahami melalui animasi 3D, maka di situlah esensi PjBL benar-benar terasa. Dengan demikian, mahasiswa tidak hanya lulus dengan nilai akademis, tetapi juga dengan bekal keterampilan abad 21 yang relevan sehingga mahasiswa bisa disiapkan menjadi inovator pendidikan yang siap menjawab tantangan masa depan.
Implementasi PjBL membutuhkan dukungan struktural, dosen berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pengajar, kurikulum didesain fleksibel agar memberi ruang bagi eksplorasi mahasiswa, serta sistem asesmen yang tidak hanya menilai hasil akhir, melainkan juga proses, kolaborasi, dan dampak proyek. Universitas di Jepang dan Korea Selatan telah membuktikan bahwa dukungan sistemik semacam ini berpengaruh langsung terhadap kualitas lulusan.
Tantangan terbesar dalam penerapan PjBL di Indonesia terletak pada kesiapan dosen, infrastruktur, dan budaya akademik yang masih cenderung tekstual. Namun, justru di sinilah peluang besar hadir, perguruan tinggi yang berani mengintegrasikan PjBL dapat tampil sebagai pelopor dalam melahirkan lulusan yang siap menghadapi Society 5.0, bukan sekadar sebagai pencari kerja, melainkan pencipta lapangan kerja dan agen inovasi sosial.
Dengan segala urgensinya, PjBL harus dipandang bukan sebagai metode tambahan, melainkan sebagai paradigma baru pembelajaran di perguruan tinggi. Jika diterapkan secara konsisten, PjBL mampu melahirkan generasi mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga adaptif, kolaboratif, dan inovatif dalam menjawab tantangan zaman. Era Society 5.0 menuntut manusia unggul yang mampu memanusiakan teknologi dan PjBL adalah salah satu jalan strategis menuju ke arah tersebut.










