Mindful Learning Innovatiobn

Career Guidance dan Penjurusan Pendidikan – Pelajaran dari Finlandia, Jerman, dan Singapura untuk Indonesia

Sistem pendidikan di Indonesia sejak lama menerapkan model penjurusan yang relatif sederhana. Pada jenjang SMA, pilihan jurusan terbatas pada rumpun Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa, sementara SMK menyediakan jalur kejuruan.

Penentuan ini biasanya dilakukan pada usia 15–16 tahun, menjelang kenaikan ke kelas XI. Model seperti ini diharapkan mampu mengarahkan siswa sesuai potensi akademik, namun dalam praktiknya menimbulkan berbagai persoalan, terutama terkait kesesuaian pilihan jurusan dengan minat dan karier masa depan.

Fakta menunjukkan bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang mengalami kebingungan dalam menentukan jurusan di perguruan tinggi. Sebagian bahkan mengaku salah jurusan setelah menempuh studi satu hingga dua tahun. Survei internal yang dilakukan beberapa universitas besar di Indonesia, seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), menunjukkan angka signifikan mahasiswa yang merasa jurusannya tidak sesuai dengan minat. Fenomena ini berdampak pada menurunnya motivasi belajar, risiko putus kuliah, serta kualitas lulusan yang kurang optimal.

Jika ditelaah lebih dalam, akar masalah ini tidak hanya terletak pada mahasiswa itu sendiri, melainkan juga pada sistem penjurusan yang kaku di tingkat SMA. Penjurusan yang dilakukan terlalu dini tanpa instrumen asesmen yang memadai membuat siswa lebih sering diarahkan oleh faktor eksternal, seperti dorongan orang tua, persepsi gengsi sosial, dan tren lapangan kerja jangka pendek. Akibatnya, pemilihan jurusan sering kali tidak merefleksikan minat dan bakat personal, melainkan tekanan sosial yang belum tentu selaras dengan perkembangan karier jangka panjang.

Bandingkan dengan sistem di negara maju, misalnya Finlandia. Di negara tersebut, siswa mendapatkan pendampingan karier intensif sejak usia 13–16 tahun. Career counselor yang profesional membantu memetakan minat, bakat, dan kecenderungan siswa. Tidak ada pemisahan kaku ala IPA–IPS, melainkan fleksibilitas dalam memilih mata pelajaran lintas bidang. Hasilnya, angka dropout di Finlandia sangat rendah dan mayoritas siswa merasa puas dengan pilihan pendidikan serta karier mereka.

Model berbeda ditunjukkan oleh Jerman yang menerapkan tracking system. Setelah menyelesaikan kelas 4 sekolah dasar, siswa sudah diarahkan ke jalur pendidikan berbeda yaitu Gymnasium untuk jalur akademik, Realschule untuk campuran, dan Hauptschule untuk vokasional. Sistem ini disertai program apprenticeship yang kuat sehingga lulusan memiliki keterampilan relevan dengan industri. Data OECD menunjukkan bahwa Jerman memiliki salah satu tingkat pengangguran muda terendah di Eropa karena sistem vokasinya yang efektif.

Singapura juga menawarkan praktik baik dengan career guidance sejak SMP. Melalui ujian PSLE, siswa diarahkan ke jalur Express, Normal Academic, atau Normal Technical. Di tingkat SMA/Polytechnic, spesialisasi sudah lebih jelas. Konseling karier tidak hanya dilakukan sekali, tetapi berkelanjutan. Karena itu, fenomena salah jurusan relatif jarang terjadi. Sistem ini berhasil karena jalur pendidikan terintegrasi dengan kebutuhan industri nasional.

Belanda menambahkan perspektif lain dengan CITO test pada usia 12 tahun yang menentukan jalur pendidikan antara lain VWO(universitas), HAVO(terapan), dan VMBO(vokasi). Kelebihannya adalah fleksibilitas, siswa dapat berpindah jalur bila performa berubah. Sistem ini memastikan siswa tidak “terjebak” di satu jalur permanen sejak dini. Fleksibilitas inilah yang masih kurang dalam sistem Indonesia, di mana berpindah jurusan sering dianggap rumit atau bahkan mustahil.

Korea Selatan, meski dikenal dengan sistem pendidikan yang kompetitif, juga telah mewajibkan tes minat dan bakat sejak SMP. Hal ini memungkinkan pemetaan awal jalur akademik maupun vokasional. Namun, tekanan sosial yang tinggi membuat sebagian siswa tetap memilih jurusan berdasarkan gengsi, bukan passion. Kasus Korea memberi pelajaran penting bahwa pemetaan karier tidak cukup hanya melalui asesmen, tetapi juga harus disertai perubahan budaya masyarakat terhadap penghargaan pada berbagai jalur pendidikan.

Refleksi dari data internasional tersebut menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dalam aspek pemetaan karier dan fleksibilitas jalur pendidikan. Penjurusan yang baru dimulai di SMA, minimnya career counselor profesional, serta kaku-nya lintasan akademik membuat banyak siswa tidak mendapat kesempatan eksplorasi. Akibatnya, saat memasuki perguruan tinggi, mereka masih kebingungan dan sering kali salah memilih jurusan. Situasi ini dapat menimbulkan inefisiensi sumber daya manusia di tingkat nasional.

Kritik yang perlu diajukan adalah bahwa pendidikan Indonesia masih berorientasi pada sorting system, mengelompokkan siswa berdasarkan prestasi akademik sesaat, bukan sistem pendampingan karier jangka panjang. Padahal, pengalaman negara maju membuktikan bahwa keberhasilan sistem pendidikan terletak pada career guidance sejak dini, fleksibilitas jalur, serta koneksi erat dengan dunia kerja. Jika Indonesia ingin mengurangi fenomena salah jurusan dan meningkatkan kualitas SDM, maka reformasi pendidikan harus mencakup asesmen minat bakat sejak SMP, penempatan career counselor profesional, serta penciptaan jalur pendidikan yang lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan global.

Referensi:

  • OECD. (2019). OECD Skills Outlook 2019: Thriving in a Digital World. Paris: OECD Publishing.
  • OECD. (2020). Vocational Education and Training in Germany. Paris: OECD Publishing.
  • Sahlberg, P. (2015). Finnish Lessons 2.0: What Can the World Learn from Educational Change in Finland?. Teachers College Press. Ministry of Education.
  • Singapore. (2021). Education Pathways and Career Guidance Framework. Singapore: MOE.
  • Dutch Ministry of Education. (2019). Education in the Netherlands: Choices in Secondary Education. The Hague.
  • Kim, J., & Lee, H. (2020). Career Guidance in Korean Schools: Opportunities and Challenges. Asia Pacific Education Review, 21(3), 441–455.
  • Hasanah, U., & Prasetyo, Z. K. (2020). Faktor Penyebab Mahasiswa Salah Jurusan dan Dampaknya terhadap Motivasi Belajar. Jurnal Pendidikan Indonesia, 9(2), 123–134.
  • Universitas Gadjah Mada. (2018). Laporan Survei Kepuasan Mahasiswa terhadap Pemilihan Program Studi. Yogyakarta: Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM.
  • Universitas Indonesia. (2019). Studi Internal tentang Faktor Pemilihan Jurusan Mahasiswa Baru. Depok: Pusat Kajian Pendidikan UI.
  • UNESCO. (2022). Reimagining Our Futures Together: A New Social Contract for Education. Paris: UNESCO Publishing.
error: Maaf, konten ini dilindungi. Tidak bisa dicopy.!