Ada kalanya hati manusia menjadi padang yang kering, doa-doa tak tumbuh, harapan terasa layu. Dalam diam, kita merasa jauh, seolah langit tertutup dan Allah tak lagi menatap kita. Namun, di balik sunyi itu, ada kasih yang tetap bekerja, rahmat yang tak pernah lelah. Allah tidak pergi, hanya hati kita yang berjalan terlalu jauh dari cahaya. Kasih-Nya tidak berubah, bahkan ketika kita menatap arah lain. Setiap napas yang masih diberikan adalah bukti lembut cinta yang tidak menuntut balasan. Dan setiap pagi yang baru, adalah cara Allah mengatakan “Aku masih di sini.”
Rahmat Allah bukan sekadar belas kasih, ia adalah kehidupan itu sendiri. Dari tetesan hujan yang menyentuh tanah hingga senyum yang lahir tanpa sebab, semuanya adalah bahasa rahasia cinta Ilahi. Ia tidak selalu datang dengan keajaiban besar, sering kali hadir dalam keheningan kecil. Ketika hati remuk dan air mata tak tertahan, di sanalah rahmat itu berbisik pelan. “Jangan takut, Aku lebih dekat dari urat lehermu.” (Q.S. Qaf: 16). Mendengar itu, ruh yang letih pun menemukan jalan pulang.
Ada orang yang merasa tak pantas dicintai Allah karena dosa menumpuk di dada. Namun rahmat Allah tidak menimbang dosa seperti manusia menakar kesalahan. Allah berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya.” (Q.S. Az-Zumar: 53). Ayat ini turun bagi mereka yang putus asa, bagi hati yang retak dan jiwa yang terjatuh. Ia bukan sekadar seruan, tapi pelukan dari langit bagi manusia yang ingin kembali. Dan betapa indah, ketika cinta Allah datang justru di saat manusia berhenti mencintai dirinya sendiri.
Imam Ibn Katsir menafsirkan ayat itu sebagai bukti paling lembut bahwa Allah memanggil hamba-hamba-Nya dengan kata “Ya ‘Ibadi”, wahai hamba-Ku. Bahkan untuk yang paling berdosa, panggilannya tetap lembut, penuh pengakuan cinta. Rahmat itu bukan untuk yang sempurna, tapi untuk yang mau kembali. Dalam tiap luka batin, Allah menanam benih pengampunan. Dalam setiap rasa sesal, Allah menumbuhkan harapan baru. Betapa besar kasih-Nya hingga air mata pun terasa seperti zikir.
Kita sering lupa bahwa bukan kita yang mencari Allah, tapi Allah yang tak henti mencari kita lewat tanda-tanda kecil. Lewat doa ibu yang tak pernah berhenti, lewat rasa gelisah yang tiba-tiba datang di malam sepi, lewat kesedihan yang memaksa kita sujud dan mengaku lemah. Semua itu adalah surat cinta dari langit, mengundang kita kembali kepada kasih yang tak menuntut syarat.
Rahmat Allah tidak hanya dalam ampunan, tapi juga dalam penundaan. Kadang doa kita belum dijawab bukan karena Allah marah, melainkan karena Ia ingin memberi pada waktu terbaik, agar hati kita matang, dan sabar kita tumbuh. Seperti petani yang menunggu musim, Allah pun tahu kapan benih layak berbuah. Ia tak menolak permintaan hamba-Nya, hanya menyimpannya dalam rahmat-Nya yang luas. Karena cinta sejati tak selalu memberi cepat, tapi selalu memberi tepat.
Di setiap rezeki yang datang tanpa disangka, di setiap jalan keluar yang muncul di tengah buntu, ada tangan lembut Allah yang mengatur tanpa perlu terlihat. “Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Q.S. At-Talaq: 2–3). Ayat itu bukan sekadar janji, tapi undangan untuk percaya. Bahwa di balik kesempitan, selalu ada rahmat yang menunggu untuk ditemukan.
Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya’ ‘Ulumuddin, “Rahmat Allah tidak mengenal batas, kecuali yang dibuat manusia sendiri melalui keputusasaan.” Betapa dalam kalimat itu, bahwa yang menutup jalan kepada Allah bukan dosa, melainkan keyakinan palsu bahwa Allah takkan memaafkan. Maka jangan pernah berkata, “Aku terlalu kotor.” Karena Allah yang Maha Rahman tak pernah jijik pada air mata taubat. Ia justru mencintai ketundukan yang tumbuh dari kehancuran.
Allah tidak hanya mencintai hamba yang bersujud lama, tapi juga hamba yang kembali setelah lama berpaling. Ia mencintai langkah pertama menuju-Nya, meski goyah, meski penuh takut, meski tertatih. Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah lebih gembira terhadap taubat hamba-Nya daripada seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang di padang pasir.” (HR. Muslim). Dalam hadits itu, Allah digambarkan bukan sebagai hakim, tapi sebagai kekasih yang menunggu pelukan.
Rahmat Allah seperti laut tanpa tepi, dosa kita hanya setetes tinta yang segera larut di dalamnya. Namun, manusia sering memilih tenggelam dalam rasa bersalah, bukan berenang menuju pengampunan. Padahal, setiap sujud adalah dermaga untuk berlabuh. Setiap istighfar adalah dayung menuju tenang. Dan setiap “Astaghfirullah” adalah bisikan cinta yang menjemput ampunan.
Dalam dunia yang serba cepat ini, banyak yang merasa kehilangan arah. Tapi kasih Allah adalah kompas yang tak pernah rusak. Ia menuntun hati yang bingung, menenangkan pikiran yang letih.
Rahmat-Nya menyejukkan, seperti embun yang menimpa dedaunan kering. Tak peduli seberapa gelap malam, selalu ada fajar rahmat yang menyusul. Karena Allah berjanji: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (Q.S. Asy-Syarh: 6). Dan janji Allah selalu lebih kuat dari segala keraguan manusia.
Jika kita merenung, betapa banyak nikmat yang datang tanpa diminta. Kesehatan, udara, keluarga, ketenangan, semua adalah rahmat yang sering terlewatkan. Manusia sibuk meminta lebih, tapi lupa mensyukuri yang sudah cukup. Padahal syukur adalah kunci bertambahnya nikmat, dan keluh kesah hanya menutup pintu keajaiban. Betapa indah jika hati belajar tenang, dan melihat cinta Allah bahkan dalam hal-hal yang tampak biasa.
Ada kalanya kasih sayang Allah datang dalam bentuk ujian. Bukan untuk menyakiti, tapi untuk menguatkan. Seperti besi yang dibakar agar menjadi pedang, hati manusia pun diuji agar menjadi lebih tajam dalam iman. Allah menulis luka bukan untuk menghukum, tapi agar kita menemukan makna sabar dan tawakal. Dalam derita yang diterima dengan ikhlas, ada rahmat yang paling murni.
Ketika dunia menjauh, Allah mendekat. Ketika semua menolak, Allah tetap menerima. Ia menatap hamba yang menangis di malam sepi, bukan dengan murka, tapi dengan kasih yang tak terucap. Begitu lembut rahmat-Nya, hingga kadang tak terasa, sebab Ia mencintai dalam diam, seperti angin yang menenangkan tanpa suara.
Maka kembalilah. Jangan biarkan dosa menjadi tembok antara kau dan Tuhanmu. Karena kasih sayang Allah tak pernah padam, tak pernah lekang oleh masa. Rahmat-Nya melampaui segala kesalahan, dan cinta-Nya lebih luas dari seluruh langit dan bumi. Hiduplah dengan harapan, bukan dengan rasa bersalah. Sujudlah bukan karena takut, tapi karena rindu. Dan biarkan hatimu berbisik pelan: “Aku mencintai-Mu, Ya Allah, karena Engkau selalu mencintaiku lebih dulu.”









