Dalam dunia pendidikan modern, batas-batas antara disiplin ilmu semakin cair. Inovasi tidak lagi lahir dari satu bidang pengetahuan yang sempit, melainkan dari kemampuan seseorang untuk menghubungkan nilai, pengetahuan, dan teknologi.
Fenomena inilah yang menjadi landasan munculnya berbagai inovasi pembelajaran digital, termasuk yang dikembangkan oleh Marta Jaya, S.Pd., M.Pd., seorang pendidik berlatar belakang Pendidikan Agama Islam yang kini berkiprah sebagai CEO PT. Edutech Vers Indonesia, perusahaan pengembang platform digital dan solusi teknologi pembelajaran.
Berangkat dari latar belakang S1 Pendidikan Agama Islam di IAIN Kerinci dan S2 Pendidikan Agama Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Marta membuktikan bahwa studi keagamaan tidak menjadi penghalang untuk berinovasi dalam bidang teknologi. Justru nilai-nilai pendidikan Islam yang menekankan pada tafaqquh (pendalaman ilmu), ijtihad (usaha kreatif), dan amal shalih (karya bermanfaat) menjadi fondasi moral dan spiritual dalam mengembangkan inovasi digital. Ia meyakini bahwa teknologi hanyalah alat, sementara esensinya tetap berpulang pada niat dan nilai di balik penggunaannya.
Pandangan ini sejalan dengan prinsip integrasi keilmuan yang kini menjadi paradigma baru dalam pendidikan Islam modern. Menurut pandangan Al-Attas (1980) dan Naquib al-Faruqi (1982), Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum; keduanya saling melengkapi dalam membentuk insan yang berilmu dan berdaya guna. Dalam konteks ini, Marta Jaya menghadirkan implementasi nyata dari konsep tersebut melalui pengembangan inovasi digitalisasi pembelajaran, yang memadukan antara semangat religius dan kecanggihan teknologi.
Melalui PT. Edutech Vers Indonesia, ia mengembangkan berbagai platform dan aplikasi edukatif, desain website pembelajaran, serta sistem digitalisasi aksara dan budaya lokal. Setiap proyek yang dikembangkan selalu berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan dan pendidikan yang mendidik dengan hati, bukan sekadar mengejar kemajuan teknologi. Inovasi yang lahir dari kesadaran nilai ini menunjukkan bahwa spiritualitas dan teknologi bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua kekuatan yang dapat bersinergi membangun peradaban ilmu.
Pertanyaan yang sering muncul “kok bisa, jurusan PAI tapi mengembangkan teknologi?”, sebenarnya mencerminkan paradigma lama yang membatasi potensi manusia dalam kotak keilmuan tertentu. Padahal, di era digital, kemampuan belajar ulang (relearning) dan beradaptasi lebih penting daripada sekadar label akademik. Marta menjawab pertanyaan itu bukan dengan teori, tetapi dengan karya nyata, membangun sistem digital pembelajaran, merancang antarmuka edukatif, dan menghubungkan nilai budaya serta agama dengan dunia teknologi modern.
Dari sudut pandang pendidikan, kisah ini menjadi contoh konkret dari konsep lifelong learning, belajar sepanjang hayat. Dalam teori pendidikan modern, seseorang yang memiliki growth mindset tidak terikat pada bidang studinya semata, melainkan terus membuka diri terhadap pengetahuan baru yang relevan dengan zamannya (Dweck, 2016). Inovasi yang dilakukan oleh Marta Jaya menjadi bukti nyata bahwa kemauan untuk belajar dan meng-upgrade keterampilan dapat membuka jalan bagi siapa pun untuk berkontribusi lintas bidang.
Lebih jauh lagi, kemampuan lintas disiplin seperti ini sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan saat ini. Guru, dosen, dan peneliti diharapkan tidak hanya menguasai konten keilmuannya, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi sebagai medium pembelajaran. Dengan pendekatan yang reflektif dan kontekstual, Marta Jaya menunjukkan bagaimana pendidik agama dapat menjadi penggerak transformasi digital di sekolah dan lembaga pendidikan, tanpa kehilangan identitas spiritual dan nilai kemanusiaan.
Integrasi nilai dan teknologi juga menjadi solusi strategis untuk membangun ekosistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Melalui digitalisasi pembelajaran, nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, empati, dan etika dapat dikemas dalam media interaktif yang dekat dengan generasi digital. Dengan demikian, teknologi tidak lagi menjadi ancaman bagi moralitas, tetapi menjadi sarana dakwah intelektual yang menyebarkan nilai kebaikan melalui inovasi.
Secara filosofis, perjalanan Marta merepresentasikan semangat ijtihad kontemporer dalam dunia pendidikan. Ia tidak berhenti pada rutinitas akademik, tetapi menjadikan ilmu agama sebagai sumber inspirasi untuk berkarya dan memberi manfaat. Dengan komitmen dan kerja keras, ia berhasil menunjukkan bahwa profesionalisme dan spiritualitas dapat berjalan seiring dalam menghadirkan inovasi yang bermakna.
Pada akhirnya, kisah ini menjadi pesan penting bagi generasi muda dan tenaga pendidik bahwa jurusan bukanlah batas, tetapi titik awal untuk tumbuh. Selama seseorang memiliki kemauan untuk belajar, mengasah diri, dan berani melangkah keluar dari zona nyaman, maka ruang inovasi selalu terbuka. Dunia terus berubah, dan pendidikan harus menjadi jembatan antara nilai, ilmu, dan teknologi seperti yang telah dibuktikan oleh Marta Jaya melalui karyanya di PT. Edutech Vers Indonesia.










