Mindful Learning Innovatiobn

Antara Ketertiban dan Kemanusiaan – Refleksi Akademis atas Tragedi Rantis Brimob dan Pengemudi Ojek Online di Pejompongan

Tragedi yang melibatkan kendaraan taktis Brimob yang melindas seorang pengemudi ojek online pada hari Kamis, 28 Agustus 2025 di kawasan Pejompongan, Jakarta, bukan sekadar insiden lalu lintas dalam konteks demonstrasi. Ia merupakan potret nyata bagaimana relasi kuasa, penegakan hukum, dan hak asasi manusia bisa berhadapan dalam ketegangan yang dramatis.

Peristiwa ini menimbulkan guncangan emosional sekaligus menggugah kesadaran kolektif bahwa keamanan publik tidak boleh ditegakkan dengan mengorbankan nyawa warga negara. Refleksi akademis atas kejadian ini penting agar tragedi tersebut tidak berhenti hanya sebagai berita viral, melainkan menjadi bahan pembelajaran sosial, etis, dan kelembagaan.

Dalam perspektif hukum, insiden ini menantang prinsip dasar rule of law yang menjamin perlindungan terhadap seluruh warga negara. Aparat keamanan diikat oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengendalian massa, yang idealnya memastikan keselamatan masyarakat sipil. Namun, ketika SOP itu tidak diindahkan atau dijalankan secara keliru, maka hukum kehilangan daya legitimasi moralnya. Tulisan reflektif ini menyoroti bahwa supremasi hukum bukan hanya perkara tertulis dalam undang-undang, melainkan juga menyangkut kesadaran etis aparat untuk menjalankan mandat negara dengan cara yang manusiawi.

Dari sisi sosial, korban yang merupakan seorang pengemudi ojek online merepresentasikan kelompok pekerja urban yang sering kali termarginalkan. Kehadiran mereka di jalanan adalah bagian dari dinamika kota modern, namun status sosial-ekonomi mereka kerap menempatkan mereka dalam posisi rentan. Ketika tragedi ini terjadi, publik melihat bahwa yang menjadi korban bukan hanya seorang individu, melainkan simbol rakyat kecil yang tidak memiliki kuasa melawan roda besar institusi negara. Oleh karena itu, refleksi ini menekankan pentingnya sensitivitas sosial dalam setiap kebijakan keamanan.

Tragedi tersebut juga membuka ruang untuk merenungkan etika kekuasaan. Negara diberi kewenangan untuk mengatur, menertibkan, bahkan menggunakan kekerasan dalam situasi tertentu. Namun, kekuasaan itu seharusnya dikawal oleh nilai kemanusiaan. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah ketertiban boleh ditegakkan dengan mengorbankan nyawa yang tidak bersalah? Refleksi etis ini mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kendali moral berpotensi menjelma menjadi instrumen penindasan, bukan perlindungan.

Di era digital, viralnya rekaman video insiden ini menunjukkan betapa kuatnya peran media sosial dalam mengawasi kekuasaan. Publik tidak lagi pasif menerima narasi resmi, melainkan aktif merekam, membagikan, dan menafsirkan peristiwa. Hal ini dapat dipahami sebagai bentuk citizen journalism yang sekaligus memperkuat literasi kritis masyarakat. Namun, di sisi lain, arus informasi yang masif juga rawan menimbulkan polarisasi emosi dan opini. Tulisan ini merefleksikan bahwa literasi digital perlu diarahkan bukan hanya untuk membongkar kebenaran, tetapi juga menjaga rasionalitas publik dalam menghadapi tragedi.

Refleksi pendidikan menjadi bagian penting dari tragedi ini. Generasi muda perlu diajarkan bahwa demokrasi, hukum, dan keamanan adalah instrumen untuk melayani masyarakat, bukan untuk menakut-nakuti atau melukai. Dari peristiwa ini, kita bisa menekankan nilai empati, penghormatan terhadap martabat manusia, dan keberanian untuk mengkritisi kekuasaan. Pendidikan kewarganegaraan seharusnya tidak berhenti pada hafalan pasal-pasal konstitusi, tetapi juga menanamkan keberanian moral untuk menolak ketidakadilan yang kasat mata.

Tragedi Pejompongan juga menyingkap keterkaitan erat antara keadilan dan kepercayaan publik. Ketika aparat dinilai gagal melindungi warga sipil, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara akan terkikis. Dalam refleksi akademis, kepercayaan publik adalah modal sosial yang tak ternilai bagi stabilitas politik dan keamanan. Tanpa kepercayaan, kebijakan sebaik apa pun akan dipandang dengan kecurigaan. Karenanya, akuntabilitas dan transparansi dalam mengusut kasus ini menjadi ujian nyata bagi integritas lembaga kepolisian.

Di balik tragedi ini, terdapat pula dimensi spiritual dan kemanusiaan yang layak direnungkan. Kehilangan nyawa seorang anak muda yang tengah berjuang mencari nafkah menunjukkan rapuhnya kehidupan manusia di tengah hiruk pikuk politik dan keamanan. Refleksi spiritual mengingatkan bahwa setiap tindakan aparat maupun warga negara memiliki dimensi moral yang tak bisa dilepaskan. Roda rantis yang melindas tidak hanya menghancurkan tubuh, tetapi juga menyentuh nurani kolektif bangsa.

Bagi komunitas ojek online, peristiwa ini adalah trauma sekaligus momentum konsolidasi solidaritas. Mereka tidak lagi sekadar jaringan ekonomi berbasis aplikasi, melainkan komunitas yang mengartikulasikan suara keadilan. Dari perspektif reflektif, tragedi ini dapat menjadi katalis untuk memperkuat advokasi pekerja informal dalam menuntut perlindungan sosial, hukum, dan keselamatan kerja. Dengan demikian, insiden ini seharusnya tidak berhenti pada tangisan duka, tetapi berlanjut pada perjuangan kolektif.

Akhirnya, tulisan reflektif ini menegaskan bahwa tragedi Pejompongan bukan sekadar catatan kelam insiden keamanan, melainkan cermin yang memantulkan wajah bangsa apakah kita sungguh-sungguh menjunjung kemanusiaan, ataukah masih rela mengorbankan nyawa atas nama ketertiban. Akademisi, praktisi hukum, pendidik, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan tragedi ini menjadi pelajaran berharga. Sebab, sebuah bangsa yang gagal belajar dari luka, akan mengulang tragedi serupa dalam bentuk yang berbeda.

error: Maaf, konten ini dilindungi. Tidak bisa dicopy.!