Kota Sungai Penuh – Krisis Identitas di Era City Branding

Di era ketika destinasi bersaing di layar ponsel, sebuah kota tidak hanya bersaing dalam hal infrastruktur, tetapi juga dalam brand positioning. Branding bukan lagi milik produk atau perusahaan saja, kota pun harus memiliki citra, narasi, dan diferensiasi yang jelas. Kota yang tidak punya identitas akan mudah terlupakan di tengah banjir informasi dan promosi destinasi, branding kota bukan lagi pelengkap, ia adalah kunci untuk dikenali dan diingat. Kota yang tak punya citra kuat akan tenggelam di tengah derasnya promosi digital dan kemasan visual yang memikat dari daerah lain. 

Sungai Penuh, dengan panorama pegunungan, udara sejuk, dan warisan budaya Kerinci, memiliki bahan baku sempurna untuk jadi merek kuat. Namun, dari kacamata branding, wajah kota ini masih kabur. Tidak ada slogan, narasi, atau simbol yang secara konsisten mengikat citra dan pesan kepada publik luas. Sungai Penuh, kota sejuk di kaki Gunung Kerinci, memiliki potensi alam dan budaya yang besar.

Dalam artikel berjudul “City Branding: An Effective Assertion of Identity or a Transitory Marketing Trick?”, Kavaratzis & Ashworth (2005) menegaskan bahwa city branding memiliki peran yang jauh lebih dalam dari sekadar taktik pemasaran. Mereka mendefinisikannya sebagai upaya strategis yang bertujuan untuk mendefinisikan dan mengelola identitas kota secara proaktif. Pendekatan ini menunjukkan bahwa city branding bukanlah aktivitas sporadis, melainkan sebuah proses berkelanjutan yang esensial untuk membangun reputasi dan daya saing kota dalam jangka panjang.

Krisis Branding Sungai Penuh

  1. Tidak ada narasi besar. Belum ada slogan atau tagline yang konsisten digunakan di semua lini, dari pemerintahan, pariwisata, hingga event budaya. Identitas kota sering larut di bawah bayang-bayang “Kerinci”, sehingga publik sulit membedakan peran unik Sungai Penuh.
  2. Visual identity yang lemah. Logo resmi kota lebih bernuansa administratif daripada brand mark yang memikat untuk promosi. Tidak ada pedoman visual terpadu (warna, tipografi, motif lokal) yang digunakan di media publik dan promosi digital.
  3. Potensi yang terpisah-pisah. Pariwisata alam, kuliner, seni, dan kopi berjalan sendiri-sendiri tanpa payung brand yang mempersatukan cerita. Akibatnya, kampanye promosi terasa sporadis dan tidak membentuk persepsi kota secara utuh.
  4. Kurangnya aktivasi dan storytelling. Media sosial pemerintah dan pelaku pariwisata cenderung informatif, bukan inspiratif. Konten promosi jarang menonjolkan human stories, kisah warga, atau narasi sejarah yang membentuk citra kota.

Belajar dari Kota Lain

  1. Jogja, menyatukan branding pemerintahan dan pariwisata di bawah narasi “Jogja Istimewa”, memanfaatkan status keistimewaan politik sekaligus pesona budaya. Tagline ini konsisten muncul di media sosial, merchandise, hingga desain halte bus Trans Jogja.
  2. Solo, Konsisten dengan tagline “The Spirit of Java” yang tercermin di event, desain kota, dan kampanye budaya. Mengangkat kekayaan budaya Jawa sebagai daya tarik utama. Semua sektor mulai dari pariwisata, kuliner, event budaya, mengusung narasi yang sama, sehingga publik langsung mengaitkan Solo dengan budaya Jawa yang kental. Tagline ini sudah digunakan lintas periode pemerintahan.
  3. Banyuwangi, awalnya adalah daerah yang jarang masuk peta wisata nasional. Lewat tagline “The Sunrise of Java” dan ratusan event tahunan (Banyuwangi Festival), mereka mengubah citra dari kota “biasa saja” menjadi destinasi unggulan. Branding ini tetap dipakai meski kepala daerah berganti, karena sudah melekat di benak publik.
  4. Makassar, yang dikenal sebagai kota maritim modern dengan reputasi internasional  menggunakan tagline “Makassar Kota Dunia”. Branding ini dibangun dengan visi menjadikan Makassar sebagai kota maritim modern dengan reputasi internasional. Event seperti F8 Makassar (Festival Film, Fashion, Food, Fiction, Flora & Fauna, dan lainnya) memperkuat narasi global. Branding diintegrasikan ke desain kota, fasilitas publik, dan media promosi.
  5. Raja Ampat, dengan keindahan alamnya, mengusung tagline  “The Last Paradise”, slogan ini sukses mengukuhkan Raja Ampat sebagai surga terakhir bagi penyelam dunia. Branding  diperkuat oleh promosi fotografi bawah laut yang mendunia dan liputan media internasional.

Menurut laporan UNWTO – Tourism and City Branding (2020), narasi merek kota yang jelas dan konsisten merupakan kunci untuk membuka potensi global. Kutipan ini menegaskan bahwa dengan mendefinisikan identitasnya secara terstruktur, sebuah kota dapat memposisikan dirinya secara efektif di panggung dunia. Hal ini memungkinkan kota untuk menarik investasi, bakat, dan wisatawan, yang pada akhirnya memperkuat posisinya dalam ekonomi global.

Rekomendasi Rebranding Sungai Penuh

  1. Tentukan brand essence atau rumuskan nilai inti kota.
  2. Buat tagline dan Visual Identity yang Kuat. Tagline singkat, mudah diingat, dan mencerminkan jiwa kota dan sertai dengan logo modern yang terinspirasi dari ikon lokal (gunung, sungai, motif kain tradisional).
  3. Satukan potensi dalam satu narasi. Semua sektor, mulai dari wisata, UMKM, seni, kuliner harus mengusung narasi yang sama di promosi dan event.
  4. Aktivasi digital dan event. Kelola media sosial kota dengan storytelling warga, sejarah, dan pengalaman unik. Selenggarakan festival tahunan khas Sungai Penuh yang bisa diangkat ke level nasional.
  5. Libatkan komunitas. Branding kota bukan hanya tugas pemerintah, tetapi kolaborasi warga, pelaku usaha, komunitas kreatif, dan media.
Sebuah kota tanpa branding ibarat wajah tanpa ekspresi, sulit diingat dan tidak memberi kesan. Kota yang tidak punya identitas ibarat buku tanpa sampul, mungkin isinya berharga, tapi jarang dibuka orang. Sungai Penuh memiliki semua bahan untuk menjadi kota dengan citra yang kuat, alam yang indah, budaya yang kaya, dan masyarakat yang ramah. Yang kurang hanyalah satu, keberanian merangkai potongan-potongan itu dalam satu cerita besar yang konsisten, menghidupkannya di ruang digital maupun nyata, dan menjadikannya kompas pembangunan ke depan. Pertanyaannya, apakah Sungai Penuh siap menulis ulang ceritanya, sebelum orang lain yang menuliskannya?
Marta Jaya

Marta Jaya adalah seorang penulis, peneliti, dan akademisi yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan tinggi dan pengembangan pengetahuan. Sebagai Akademisi yang berdedikasi, ia dikenal karena kemampuannya menginspirasi mahasiswa melalui pendekatan pembelajaran yang interaktif dan berbasis riset. Karya-karya tulisnya, baik dalam bentuk artikel ilmiah maupun opini populer, mencerminkan kedalaman analisis dan kepeduliannya terhadap isu-isu strategis di bidang pendidikan, sosial, dan pembangunan manusia. Marta Jaya juga aktif terlibat dalam berbagai proyek penelitian yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia dan inovasi pembelajaran. Selain perannya di lingkungan akademik, Marta Jaya juga dikenal sebagai trainer profesional yang kerap diundang untuk memberikan pelatihan dan seminar di berbagai kegiatan. Dengan gaya komunikasi yang lugas dan membumi, ia mampu menyampaikan konsep-konsep kompleks secara sederhana dan aplikatif. Kombinasi antara pemikiran kritis, pengalaman lapangan, dan semangat berbagi menjadikan Marta Jaya sosok yang tidak hanya dihormati di kalangan akademisi, tetapi juga diapresiasi oleh praktisi dan komunitas pembelajar di berbagai sektor.

Lihat Semua Postingan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *