Antara Gelar dan Integritas,Refleksi Kritis atas Maraknya Joki Akademik di Kalangan Mahasiswa hingga Guru PPG
2024, pendidikan tinggi di Indonesia berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Namun di balik perubahan struktural ini, muncul persoalan mendasar yang masih mengakar kuat dalam dunia akademik,
yaitu joki tugas dan skripsi yang kini bukan hanya merambah mahasiswa, tapi juga guru peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG). Fenomena ini bukan sekadar bentuk pelanggaran administratif, melainkan gejala sistemik yang mengancam ruh pendidikan tinggi, yakni kejujuran, integritas, dan transformasi moral intelektual.
Dengan maraknya gelar yang diraih dan perayaan wisuda yang menghias media sosial, timbul satu pertanyaan mendasar, apakah ilmu benar-benar diperoleh? Ketika sejumlah peserta PPG yang disiapkan menjadi pendidik masa depan lebih memilih membeli tugas refleksi atau laporan lapangan dari jasa joki, maka telah terjadi ironi besar, seorang calon guru telah gagal dalam proses belajarnya sendiri. Bagaimana ia akan mengajarkan integritas kepada murid jika ia sendiri mengabaikan nilai itu di awal kariernya?
Normalisasi Kecurangan dan BudSejak restrukturisasi kementerian pada Oktober aya Instan
Di era digital, promosi jasa joki tugas, makalah, bahkan skripsi tak lagi sembunyi-sembunyi. Mereka bebas beriklan di media sosial, marketplace, hingga grup pesan tertutup. Iklan semacam “terima tugas refleksi PPG cepat & aman” menjadi hal biasa. Sayangnya, masih banyak perguruan tinggi, LPTK, dan lembaga penyelenggara PPG yang menutup mata atau tak memiliki mekanisme deteksi kecurangan yang efektif.
Seiring waktu, praktik ini melahirkan budaya permisif terhadap kebohongan akademik. Kejujuran menjadi barang mahal, dan kelulusan disamakan dengan kelengkapan administrasi semata. Nilai dijadikan tujuan, bukan proses belajar itu sendiri.
Akar Masalah: Tekanan, Desain Tugas, dan Lemahnya Etika Akademik
Fenomena guru peserta PPG yang menggunakan jasa joki tidak bisa hanya disalahkan pada individu. Ada sejumlah faktor sistemik yang menyuburkannya:
-
Tekanan administratif dan waktu
Banyak peserta PPG adalah guru aktif yang harus membagi waktu antara mengajar, tugas PPG, dan kebutuhan keluarga.
-
Minimnya literasi riset dan etika akademik
Sejak awal masa studi, mahasiswa tidak dibekali secara serius dengan pemahaman tentang plagiarisme, penulisan ilmiah, dan refleksi otentik.
-
Desain tugas yang kaku dan repetitif
Tugas-tugas PPG yang bersifat umum dan bisa ditebak membuatnya mudah “dijokikan”.
-
Kurangnya deteksi orisinalitas tulisan
Belum banyak LPTK yang menggunakan AI-writing detector atau penilaian berbasis gaya menulis.
-
Ketiadaan sanksi dan regulasi tegas
Tidak ada aturan eksplisit yang menindak pelaku dan pengguna jasa joki secara nasional.
Dampak Sistemik yang Merusak
Dampak dari fenomena ini sangat serius dan menyentuh banyak lapisan:
-
Menurunnya kualitas lulusan, baik mahasiswa maupun guru PPG yang menyelesaikan studi dengan cara curang berisiko rendah kapasitas intelektual dan pedagogis.
-
Reputasi lembaga tercoreng, LPTK atau kampus yang membiarkan praktik ini akan kehilangan kepercayaan masyarakat.
-
Budaya ketidakjujuran menjalar ke profesi, Seorang guru yang curang saat belajar, sangat mungkin tidak sungguh-sungguh saat mengajar.
-
Degradasi makna pendidikan, Ketika gelar dan lisensi menjadi komoditas yang bisa dibeli, maka ilmu tidak lagi bermakna.
Rekomendasi Strategis: Perlu Gerakan Kolektif
Peran Lembaga Pendidikan Tinggi & PPG
-
Integrasi etika akademik sejak awal studi, dalam bentuk modul khusus dan pembimbingan rutin.
-
Redesain tugas secara autentik, proyek lapangan, studi kasus nyata, dan refleksi berbasis pengalaman langsung.
-
Gunakan deteksi plagiarisme dan AI-style matching, untuk mengidentifikasi gaya menulis yang tak konsisten.
-
Bentukkan Komisi Etika Akademik, yang independen, transparan, dan aktif menindak pelanggaran.
Peran Pemerintah
Lembaga | Tanggung Jawab |
---|---|
Kemendiktisaintek | Merancang regulasi nasional tentang larangan joki, audit skripsi dan tugas PPG, pelatihan etik untuk dosen & mahasiswa. |
Kemendikdasmen | Membina integritas guru peserta PPG, integrasikan asesmen karakter dalam penilaian kelulusan. |
Komdigi | Menutup iklan jasa joki di platform digital, bekerja sama dengan aparat hukum dalam penindakan. |
Kesimpulan: Antara Gelar atau Integritas
Ketika lisensi akademik dan gelar bisa diperoleh tanpa melalui proses belajar sejati, maka pendidikan kehilangan jiwanya. Seorang guru yang curang dalam pendidikannya tak hanya gagal pada dirinya sendiri, tapi juga menghancurkan fondasi moral generasi yang ia didik. Kita perlu berhenti merayakan kelulusan semu dan mulai membangun sistem yang jujur, reflektif, dan berani. Kini kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar:
Apakah kita sedang mencetak insan berilmu,
atau hanya sekadar memperbanyak pemilik gelar?