Pendidikan Guru yang Terlalu Teoritis, Siapkah Mereka Menghadapi Kelas Nyata?
Pendidikan guru seharusnya menyiapkan calon pendidik dengan keterampilan praktis yang kokoh untuk menghadapi tantangan nyata di ruang kelas. Namun, kenyataannya, dari total lebih dari 140 SKS yang harus ditempuh oleh mahasiswa S1 jurusan kependidikan, mata kuliah seperti microteaching, public speaking, dan media pembelajaran hanya mendapat porsi sangat kecil, sering kali hanya 2 atau 4 SKS.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah kurikulum LPTK terlalu fokus pada teori dan melupakan aspek praksis? Padahal, microteaching, yakni simulasi mengajar dalam ruang terbatas, dianggap sebagai fondasi penting untuk menyiapkan calon guru dalam mengelola kelas secara nyata. Namun, porsi pembelajarannya sangat terbatas dan sering dilakukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban akademik.
Banyak lulusan jurusan kependidikan yang justru tidak percaya diri saat diminta langsung mengajar di kelas. Hal ini menjadi ironi tersendiri, mereka telah menempuh pendidikan selama bertahun-tahun, namun belum memiliki kesiapan mental maupun keterampilan praktis. Salah satu penyebabnya adalah minimnya porsi pelatihan nyata dalam kurikulum, termasuk microteaching yang hanya mendapatkan porsi 2 SKS. Dengan waktu terbatas tersebut, mahasiswa cenderung hanya mengejar kelulusan formal tanpa mendapatkan pembiasaan yang cukup untuk menghadapi kompleksitas dinamika ruang kelas yang sesungguhnya.
Salah satu riset oleh Hattie (2009) dalam Visible Learning menempatkan microteaching sebagai salah satu strategi pembelajaran paling efektif, dengan efek ukuran sebesar 0.88. Angka ini jauh di atas ambang efektivitas 0.4 yang dianggap signifikan. Artinya, jika dilakukan dengan benar dan konsisten, microteaching sangat potensial meningkatkan kualitas pengajaran guru.
Selain microteaching, keterampilan public speaking juga belum memperoleh perhatian serius. Padahal kemampuan berbicara dengan artikulasi, intonasi, dan penguasaan emosi adalah bagian dari kompetensi dasar guru. Ironisnya, tidak semua program studi keguruan menyediakan ruang pelatihan yang khusus untuk melatih public speaking.
Dalam dunia nyata, guru bukan sekadar penyampai informasi, tetapi juga komunikator, fasilitator, dan penginspirasi. Menurut laporan Guardian (2025), pendidikan berbasis oracy (kemampuan berbicara) mulai dikembangkan secara sistematis di Inggris karena terbukti berkaitan erat dengan kesuksesan akademik dan sosial siswa. Mengapa hal ini belum menjadi prioritas di Indonesia?
Masalah lain yang mencuat adalah lemahnya pelatihan pembuatan media pembelajaran. Banyak mahasiswa hanya membuat media sebagai tugas akhir mata kuliah, bukan sebagai bagian dari strategi pembelajaran yang menarik, interaktif, dan sesuai dengan karakter siswa. Padahal, kemampuan mendesain media yang sesuai dengan prinsip kognitif dan visual sangat penting di era digital ini.
Gagne dan Merrill telah lama menekankan bahwa media pembelajaran yang baik harus mampu membantu atensi, memberikan representasi yang jelas, dan memperkuat retensi. Maka, calon guru seharusnya tidak hanya diajarkan cara menggunakan alat, tetapi juga diajak berpikir mengapa dan bagaimana memilih media yang tepat untuk konteks tertentu.
Kesenjangan antara dunia kampus dan praktik lapangan menjadi semakin lebar ketika mahasiswa merasa kaget dan tidak siap saat harus praktik mengajar sungguhan di program PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan). Hal ini menunjukkan bahwa pengalaman praktik yang mereka peroleh di kampus tidak cukup atau terlalu terbatas pada konteks simulatif yang kaku.
Untuk itu, perlu ada pergeseran pendekatan dalam kurikulum pendidikan guru. Alih-alih terlalu dominan pada kajian teoritis dan administrasi pembelajaran, LPTK perlu memberikan ruang lebih luas bagi pembelajaran berbasis praktik, penguatan soft skills, dan simulasi yang mencerminkan dinamika kelas yang sesungguhnya.
Akhirnya, bila kita ingin menyiapkan guru yang adaptif, komunikatif, dan kreatif, maka microteaching, public speaking, dan keterampilan desain media ajar bukan sekadar pelengkap, tetapi harus menjadi inti dari proses pendidikan guru. Tanpa itu, lulusan LPTK akan terus menjadi guru yang tahu, tetapi belum tentu mampu mengajar dengan efektif.